Hige Wo Soru. Soshite Joshikousei Wo Hirou. Volume 1, Chapter 11

Font Size :
Dark Mode
Reset Mode
Penerjemah : yNats
Editor : 4unimaru


Chapter 11: Senyum

“Mungkin dia bakal lebih suka kasing dengan desain yang imut, ya?”

“Kenapa kau bertanya padaku.”

Ini adalah hari libur.

Aku sudah menyeret Hashimoto untuk ikut membeli ponsel.

Menggunakan ID-ku, aku membeli ponsel cerdas dan mendaftar untuk paket dengan batas data tinggi.

Sekarang, aku sedang berfikir keras, mencoba memutuskan mau membelikan kasing ponsel seperti apa buatnya.

“Dia mungkin suka jenis yang berkilauan?”

“Ah, itu agak susah membanyangkannya … maksudku, dia nggak punya pakaian lain selain seragamnya. Aku juga gak terlalu tahu soal kesenagannya.”

Menanggapi perkataanku, Hashimoto terseyum masam.

“Meskipun kau teman sekamarnya, kau kayaknya gak terlalu tau banyak soal dia, ya.”

“Maksudku, itu gak normal buatku pergi keluar dari kebiasaanku buat tanya-tanya tentang jenis pakaian kesukaannya.”

“Benarkah?”

Dia biasanya memakai sweater abu-abu yang sama setiap waktu di rumah.

Ponsel yang dia punya sebelumnya tengelam di suatu tempat di luasnya lautan Chiba, jadi aku juga tak bisa menjadikannya sebagai referensi.

“Serius, kalau itu sangat mengganggumu, kenapa kau nggak tanya langsung aja sama dia?”

“Karena kalau aku menanyakan itu padanya, dia bakal bersikeras memintaku untuk jangan membelikannya ponsel.”

Aku berencana membelikannya ponsel tanpa sepengetahuannya dan langsung memberikannya setelah itu. Karena dia nggak akan bisa menolak kalau aku sudah terlanjur membelikannya. Dan karena aku sudah mengeluarkan uang, menerimanya akan jadi satu-satunya keputusan yang terakhir buatnya.

Menatap sekilas kearahlu, Hashimoto mengeluarkan tawa mengejek.

"Kenapa kau tertawa!?"

"Bukan apa-apa. Aku cuma berpikir kalau kau sepertinya sangat menyayangi Sayu-chan, Yoshida. ”

"Hah ...?"

Ketika aku merengut, Hashimoto terus memandangi kasing ponsel yang tergantung di rak yang terpampang di sepanjang dinding.

“Maksudku, kalau tujuan kita ke sini cuma buat membeli ponsel, maka desain kasing itu harusnya nggak terlalu menjadi masalah, kan?”

“Tapi kita sedang membicarakan seorang JK! Jadi itu pasti, kalau desain kasing akan jadi hal yang penting buatnya!”

“Itulah yang aku maksud. Pada dasarnya—“

Hashimoto melepaskan gusar saat dia terkekeh, lalu melanjutkan dengan lambat, sikapnya tenang.

"Kau ingin membuatnya bahagia, kan?"

Aku kehilangan kata-kata.

Nggak, aku nggak bermaksud kayak gitu sedikitpun. Sebenarnya alasannya bukan karena itu, tapi karena beberapa alasan aku tak bisa menemukan kata yang cocok untuk membalas perkataan Hashimoto.

Mungkin ada bagian dari diriku jauh di dalam yang memang benar-benar bermaksud melakukan itu.

“Yah, kalau kau nggak mau ambil pusing, pilih saja warna putih atau hitam.”

“Kayaknya itu bakal terlalu simpel, kan?”

“Aku rasa nggak masalah kalau simpel.”

Saat dia mengatakan itu, aku memperhatikan kasing putih.

Aku rasa tak masalah membayangkan Sayu bawa-bawa ponsel dengan kasing warna putih.

"Kalau begitu, aku akan beli kasing warna putih."

Aku mengambil kotak putih dari rak dan membawanya ke kasir.

Setelah memeriksa kasing dan berjalan beberapa langkah dari meja kasir, tatapanku bertemu dengan Hashimoto.

"Hei, Yoshida."

Saat aku menatapnya, Hashimoto melanjutkan.

“Aku pikir kau harus benar-benar mempertimbangkan bagaimana kau akan bergaul dengan Sayu mulai saat ini.” [1]

Nada suaranya mengandung kehangatan perhatian yang tulus, serta dinginnya peringatan keras.

“Bakalan jadi masalah kalau dia jadi terikat secara emosional denganmu, atau, mungkin lebih jauh, dia mungkin akan jatuh cinta padamu.”

"... Yah, kau benar juga."

Saat aku mengangguk setuju, kami berjalan keluar dari toko berdampingan.

"Dan juga, ada kemungkinan kau jatuh cinta padanya, kan?"

"Tidak. Aku ta mungkin jatuh cinta kalau sama orang selain tipe Onee-chan yang berdada besar ”

"Tapi itu cuma pemikirian seksualmu, kan?"

Hashimoto bertanya sambil terkekeh.

"Aku sangat mencintai istriku, dan kurasa aku tidak bisa lepas darinya."

"Apa yang kau bicarakan?"

Kataku dengan senyum yang dipaksakan. Hashimoto melanjutkan dengan acuh tak acuh.

“Apa yang aku maksud adalah kalau cinta dan pemikiran seksual itu dua hal yang berbeda. Kau sebaiknya berhati-hati.”

"Nggak, tapi itu serius, aku nggak tertarik pada orang lain selain tipe Onee-chan."

"Kalau emang kayak gitu, aku rasa kau bakal aman."

Hashimoto tertawa kecil dan menaikkan langkahnya.

Aku meningkatkan kecepatan ku untuk mengikutinya.

“Maaf karena udah menyeretmu ke masalah ini. Ayo cari sesuatu buat dimakan, aku yang traktir.”

“Kalau gitu, aku mau makan Ramen. Di rumahku cuma ada makanan sehat dan seimbang.”

“Entah kenapa aku merasa kau agak sombong. Kalau begitu, ayo kita pergi makan Ramen.”

Saat aku mengangguk dengan senyum canggung, Hashimoto berkomentar kalau, 'Ini lebih pantas disebut keluhan,' dengan senyum di wajahnya.

×××

"Ini buatmu."

Tanpa peringatan, aku melemparkan kantong kertas itu, yang mendadak membuat Sayu panik.

"Woah ... A, Apa ini?!”

"Buka saja."

Sayu dengan gelisah mengobrak-abrik isi kantong kertas. Matanya melebar saat dia menemukan sebuah kotak kecil di dalamnya.

"Eh, ini—?!"

"Sebuah ponsel."

"Darimana kamu mendapatkan ini?"

"Aku membelinya."

Sayu menatap bergantian antara ponsel dan aku, sebelum memiringkan kepalanya dengan bingung.

"Kamu mau pakai ponsel ini?”

“Kau nggak perlu pura-pura bodoh! Itu jelas-jelas buatmu, tahu!”

"Lho?! Kenapa!?"

“Sangat merepotkan kalau aku nggak bisa menghubungimu!”

Sayu menatap kantong kertas dengan emosi yang tak terlukiskan.

"... Ini mahal, kan?"

“Nggak perlu bereaksi kayak gitu. Aku punya uang banyak.”

“… Apakah, aku benar-benar boleh pakai ponsel ini?”

“Itulah alasan kenapa aku membelinya.”

Mendengar ucapanku, Sayu menganggukan kepalanya dengan kuat dan sedikit tersenyum.

“Jujur saja, sebelumnya aku terkejut. Kamu sangat jarang pergi belanja waktu hari libur, jadi aku merasa agak curiga.”

Sayu menggaruk kepalanya dengan canggung dan membiarkan tatapannya melayang di sekitar ruangan.

"Tapi aku sadar sekarang. Kamu melakukan ini semua untuk ku ... "

Mengatakan itu, dia menunjukkan senyum 'gembira' seperti biasanya.

"Yoshida-san, mungkinkah kamu benar-benar sangat menyayangiku?"

“Jangan berlebihan. Ini cuma sekedar buat komusikasi, paham?!”

"Ah, aku rasa begitu."

Sayu mengangguk ketika dia dengan susah payah merobek segel kotak itu.

“Woah! Ini model terbaru!”

“Benarkah? Aku cuma membeli model ini karena kelihatannya agak keren.”

“Apa-apaan itu, lucu sekali.” Sayu terkikik.

Dia kemudian menatap mata ku.

"Terima kasih banyak, Yoshida-san."

"Iya, ya."

Merasa sedikit malu, aku mengalihkan pandanganku darinya. Sejujurnya, itu membuat ku senang kalau dia menyukai apa yang aku belikan.

"Oh, ada kasing ponselnya juga."

Melihat kotak kedua di tas, Sayu dengan cepat mengambilnya.

"Warna putih!"

"Apakah kau menyukainya?"

Sayu dengan penuh anggukan mengangguk sebagai jawaban.

"Aku suka kasing putih.”

"Aku tahu, itu enak dilihat."

"Seleramu nggak terlalu buruk, Yoshida-san."

Saat dia mengatakan itu dengan nada merendahkan yang sedikit misterius, Sayu mengeluarkan kasing dan dengan cepat menerapkannya di smartphone barunya.

"Tada~!"

"Bagus buatmu."

"Sekali lagi, terima kasih."

Sayu tersenyum polos saat dia menekan tombol power di telepon.
Beginilah seharusnya. Anak-anak tak seharusnya menahan diri demi orang dewasa. Dia seharusnya tidak perlu menahan diri pada apa yang telah diberikan untuknya. Hanya 'terima kasih' yang sederhana sudah cukup untuk memuaskan ku.

Sungguh, aku merasa seperti walinya. Tidak, sebenarnya, apa yang kulakukan saat ini tak jauh berbeda seperti jadi wali-nya. Sejujurnya, aku tak yakin apakah ini rasanya menjadi orang tua bahkan untuk seorang JK yang masa lalunya tidak ku ketahui.

Tapi—

Apa yang dikatakan Hashimoto sore ini muncul di benakku.

"Dan juga, ada kemungkinan kau jatuh cinta padanya, kan?"

Semakin aku memikirkannya, semakin bodoh kedengarannya.

Aku tidak bisa membayangkan perasaan semacam itu akan tumbuh di antara kami. Bagiku, daripada menganggapnya seorang ‘Wanita’, aku lebih menganggapnya seorang ‘Anak’.

"Ah, Yoshida-san."

"Ada apa?"

“Ayo kita tukeran kontak.”

Dia duduk di sampingku dan menunjukkan kepadaku layar ponselnya.

Aku melihat menu utama dari aplikasi pesan yang sangat trendi dan akrab. Sepertinya dia langsung mengunduh aplikasi ini begitu ponselnya menyala.

“Sangat hebat kau bisa tahu cara mengunduhnya dengan sangat cepat.”

"Fufu, bagaimanapun juga aku seorang JK."

Adaptasi anak-anak muda adalah pemandangan untuk dilihat. Setiap kalu aku mengganti ponsel, aku selalu mengalami kebingungan karena aku tidak paham cara mengakses fungsinya saat waktunya diperlukan.

Aku membuka aplikasi perpesanan yang sama dan menunjukan ID ku pada Sayu.

Baru-baru ini aku pakai aplikasi perpesanan semacam ini untuk menghubungi atasan ku di tempat kerja. Tapi, kadang-kadang aku mendapatkan pesan penting dari aplikasi perpesanan juga, yang mana membuat ku ingin menyarankan pada mereka untuk lebih baik menggunakan email perusahaan untuk mengirim pesan penting daripada menggunakan aplikasi perpesanan.

“Udah, aku udah berhasil menambahkan Yoshida-san!”

Sayu mengumumkan dengan senyum gembira.

Melihat layar ku, aku melihat nickname 'its_sayu' muncul di kolom 'teman'.

“Oy, bukankah kau harusnya memikirkan lebih baik tentang nickname akun mu?”

“Aku nggak mau dengar itu dari orang yang menamain akunnya dengan nama ‘yoshida-man’. Apa sih maksud dari ‘man’ itu?”

“Ssshhh! Aku memutuskan nickname ku itu karena iseng.”

Saat itu Hashimoto mengeluh kalau ‘sangat merepotkan kalau aku harus menghubungimu lewat email, jadi unduh saja ini!’ dan memaksaku untuk membuat akun, setelah itu aku memutuskan nama yang cocok tanpa benar-benar memikirkannya.

Sayu terkikik dan tertawa menanggapinya. Lalu dia menekan telepon ke dadanya dan memeluknya erat-erat.

"Hehe."

Sayu menatapku saat dia dengan menyeramkan terkikik.

"Kenapa tiba-tiba ketawa?! Itu menakutkan!”

"Lihat, lihat."

Sayu mendorong layar ponselnya ke wajahku.

Layar ponsel itu menampilkan 'yoshida-man' adalah satu-satunya akun yang terdaftar di daftar 'teman'.

"Karena kamu satu-satunya temanku, Yoshida-san."

“Kau lagi membicarakan soal aplikasi, kan?”

Selagi dia terus tertawa, dia menyipitkan matanya dan berkata.

"Ini cuma buat dirimu seorang, Yoshida-san."

Suaranya menggelitik permukaan gendang telingaku.

Ada sesuatu yang aneh menyihir tentang senyumnya. Aku merasa punggungku mengigil disertai dengan merinding, aku dengan bingung mengalihkan pandanganku darinya.

“Sa, Saat kau akan mulai kerja paruh waktu, kau akan mulai menambahkan orang lagi kan …”

"Ah, iya, kamu benar."

Sayu kembali ke tampang biasanya, yang segera diikuti dengan senyum penuh.

“Mulai sekarang, aku rasa kita akan lebih mudah menghubungi satu sama lain.”

"Sepertinya, begitu."

“Pastikan Yoshida-san memberi tahu aku kalau-kalau kamu bakal pulang telat, ya!”

"Akan kulakukan."

Sayu bersenandung bahagia saat dia berjalan kembali ke ruang tamu. Menempatkan dirinya di atas tempat tidur, dia mulai menekan-nekan smartphone barunya.

Dengan napas pendek, aku menuju ke wastafel kamar mandi. Setelah membilas tangan ku dengan sabun, aku menyiramkan air ke wajah ku.

Apa-apaan itu?

Senyum aneh yang erotis itu. Nada suara itu yang membuat jantungku berdetak kencang.

Dia cuma anak-anak, tapi dia punya intensitas aneh yang membuat ku ingin mengepal hati ku dan itu menyebabkan keringat dingin muncul di tubuhku.

Aku udah terbiasa melihat senyum Sayu yang longgar dan santai. Sebaliknya, aku pikir, hanya sedikit, senyum seperti itu menggemaskan.

Namun, senyum yang dia tunjukkan hari ini berbeda dari senyum yang dia tunjukkan sampai sekarang—aku bisa merasakan sebuah 'motif' tertentu di baliknya.

Aku menyiram wajahku dengan air lagi dan melepaskan napas panjang.

"Aku cuma tidak terlalu paham soal JK ..."

Terlepas dari gumaman ku, ingatan akan senyum menyihir gadis itu terus berputar tanpa henti di benak ku.



Catatan Penerjemah :

[1] Disini ada dua arti tentang ‘asosiasi’. Dalam bahasa Jepang adalah istilah ini adalah 付 き 合 い (tsukiai), yang bisa berarti ‘bersama’ atau, ‘menemani’, tetapi tergantung pada konteksnya juga yang bisa memiliki arti ‘berkencan’.
Share Tweet Share

Comment Now

0 Comments

Please wait....
Disqus comment box is being loaded