Hige Wo Soru. Soshite Joshikousei Wo Hirou. Volume 1,Chapter 7

Font Size :
Dark Mode
Reset Mode

Chapter 7: Kosmetik

Ini adalah hari libur.

Saat aku berbaring di atas seprai ku yang tidak rapi, aku menyalakan komputerku untuk memeriksa email ku. Saat itu, sebuah iklan muncul di sudut layar komputer ku.

“Kabar bagus buat gadis SMA di mana pun yang suka menggunakan makeup! Ada diskon sebesar 70% untuk kosmetik!”

Semangat yang dipancarkan iklan menarik perhatian ku, tetapi isi dari iklan itu memunculkan pertanyaan di pikiran ku.

"Eh, apakah gadis-gadis SMA sekarang sudah menggunakan kosmetik...?"

"Eh?"

Sayu, yang sedang membersihkan meja, menoleh untuk menatapku. Sepertinya dia ingin mengatakan sesuatu.

“Ah, bukan apa-apa, kok. Cuma, iklan itu bilang “gadis SMA yang suka menggunakan makeup”, jadi aku agak sedikit penasaran ...”

"Aku mengerti ... Yah, secara pribadi, aku rasa banyak gadis SMA yang pakai makeup."

"Serius ...? Dasar kids jaman now …"

Kalau dipikir-pikir, di SMA tempat aku bersekolah dulu, kosmetik itu dilarang, khan? Meskipun, ada beberapa gadis yang disebut 'Gal' yang suka pakai kosmetik tebal, yang suka menarik perhatian para guru. Juga, menghitung orang-orang yang menggunakan makeup itu sangat jarang. Aku nggak pernah berfikir akan ada saatnya dimana gadis-gadis SMA yang menggunakan makeup akan diperbolehkan. Apa zaman sudah berubah? Atau apakah di SMA ku dulu peraturannya sangat ketat? Aku tidak mengerti, tapi bagaimanapun juga, itu bukan hal yang baik.

"Lalu, kalau kau gimana?"

"Hmm?”

“Maksudku, apa kau pakai makeup juga? Aku nggak pernah melihatmu sekalipun menggunakan makeup selama kau tinggal di sini.”

Mendengar pertanyaanku, Sayu mengerang sedikit dan memiringkan kepalanya untuk berpikir.

“Aku nggak bilang kalau aku nggak pakai makeup, aku cuma pakai saat aku emang mau pakai.”

“Jadi, kau juga pakai?”

"Cuma makeup ringan."

Nah, itulah yang selama ini aku pikirkan. Wajahnya kayaknya nggak cocok pakai makeup tebal ... Sejujurnya, wajahnya sudah cukup manis sejak awal, jadi sedikit makeup ringan udah cukup. Sebaliknya, sebagai seorang pria, aku nggak bisa berhenti berfikir kalau nggak masalah untuknya untuk tidak menggunakan makeup sama sekali.

“Jadi kamu meninggalkan semuanya ketika kamu kabur dari rumah?”

Sayu memiringkan kepalanya lagi.

"Apa maksudmu?"

“Maksudku kosmetikmu. Sejak kemari, kau nggak pernah berdandan, khan?? ”

"Oh ... Ya, kayaknya aku meninggalkan semuanya di sana."

"Bukankah itu nggak nyaman?"

“Nyaman…? Bukannya aku pernah meninggalkan rumah, jadi aku nggak benar-benar membutuhkannya. ”

"Yah, kau benar soal itu ..."

Untuk itu, bahkan kebiasaan yang paling mendarah daging sekalipun mungkin akan berhenti seiring dengan perubahan tingkat stres dan lingkungan.

Mengklik iklan, aku melihat-lihat isi halaman dan berhenti ketika aku menemukan produk tertentu.

"Toner kulit ..."

"Kalau itu bagaimana?"

"Apa kau pernah pakai hal-hal seperti toner kulit?"

Ditulis dengan jelas dalam tulisan besar di halaman itu ‘Perawatan kulit adalah masalah sebelum bermakeup!’. Sejujurnya, aku sama sekali tidak tahu apa-apa tentang topik ini, tapi aku ingat Hashimoto pernah berkata kalau kulitnya mudah mengering, jadi dia menggunakan toner setiap malam sebelum tidur. Kalau bahkan seorang pria dewasa prihatin soal hal seperti itu, maka sama sekali tidak aneh untuk para gadis-gadis SMA menganggap itu penting, bukan?

Tatapan tajam Sayu sepertinya menujukan kalau kecurigaanku itu benar.

"Begitu, kah?"

"Y-Ya ... aku ..."

"Sering?"

"... Biasanya sih sebelum tidur."

"Sudah kuduga."

Sambil menggaruk kepala, aku menutup iklan dan mematikan komputerku.

"Ayo kita pergi sebentar."

"Eh, ke mana?"

Sayu menatapku dengan terkejut ketika aku berjalan ke kamar mandi sambil mencoba merapikan tempat tidurku.

Ketika aku selesai merapikan tempat tidur ku yang berantakan ke bentuk awal yang rapi, aku berkata.

"Kita akan pergi untuk membeli toner kulit."

"Eh?"

×××

Aku berjalan dengan bungkuk ke arah toko kosmetik yang terletak di lantai pertama toko serba ada di seberang stasiun. Ini mungkin pertama kalinya dalam hidup ku dimana aku pernah pergi ke toko kosmetik.

“Jadi, apa maksudmu dengan 'nggak ingin terlihat kayak Sugar Daddy¹?”

Aku entah bagaimana berhasil menyeret Sayu ke sini. Meskipun dia nggak memprotes secara lisan, dia mengerutkan bibirnya ke satu sisi untuk mengekspresikan keengganannya.

“Kayaknya bagian untuk toner kulit ada sebelah sana.” Kataku sambil menunjuk papan nama yang tergantung di langit-langit.

Sayu melirikku sekilas seolah ingin mengatakan sesuatu, tapi kemudian menghela nafas pendek dan berjalan menuju area toner.

Aku mengikuti di belakangnya, meluangkan waktu untuk melirik ke sekelilingku.

Rak-rak dipenuhi dengan botol-botol mencolok berbagai bentuk dan ukuran. Di dinding ada iklan yang menampilkan aktris terkenal di samping tanda tangan masing-masing. Pemandangan di depan mataku jauh berbeda dari kehidupanku yang biasa, dan aku tidak pernah sekalipun berpikir akan ada hari di mana aku akan benar-benar datang ke tempat seperti ini.

"Yoshida-san." Sayu memanggilku dengan lambaian.

Setelah bergegas ke sisinya, dia menatapku berulang kali.

"Ada apa?"

"Uhm ... ini bagian toner kulit ..."

“Aku tahu. Pilih saja yang kau suka. ”

"Aku benar-benar nggak membutuhkannya ... aku nggak akan mati meskipun aku nggak pakai itu, lho.”

“Sekarang, sudah terlambat untuk menolak, khan? Maksudku, kita sudah datang jauh-jauh ke sini. ”

"Tapi itu tidak seperti kamu meminta pendapatku tentang masalah ini, setidaknya itu yang kurasakan ..."

Tentu saja, aku nggak bisa menyangkal kalau aku agak memaksanya untuk datang jauh-jauh ke sini.

“Ah, jangan seperti itu, pilih saja yang kau suka. Aku bilang aku akan membelikannya untukmu jadi ambil saja, ya? ” Kataku, cocok dengan tatapan protes Sayu dan menanganinya dengan tepat.

Meskipun Sayu mengalihkan pandangannya ke arah rak-rak, rasa kecewa terlihat jelas di ekspresinya.

Melihat itu, aku mulai merenung.

Sayu bukanlah putriku, saudara, atau semacamnya. Bukannya aku punya tugas untuk menjaganya.

Jika dikatakan secara lembut, mungkin aku hanya menggonggong pada pohon yang salah. Meskipun begitu, aku merasa sedikit terganggu olehnya.

Sayu mungkin memiliki banyak waktu luang, tetapi bahkan dengan semua waktu yang dia punya, sepertinya tidak ada yang bisa dia lakukan di rumah. Tentu saja dia punya tugas yang harus dilakukan, tapi itu itu bukanlah tugas yang harus dikerjakan hingga malam hari untuk menyelesaikannya.

Akan jauh lebih baik kalau ada TV di rumah, tapi aku nggak banyak menonton TV sedari dulu sampai aku merasa tidak ada alasan bagi ku untuk membelinya. Lagipula aku hidup sendirian sampai sekarang.

Belum lagi, berdasarkan waktu di mana aku mencoba membelikannya futon dan pakaian bebas, dia sangat menentang ku untuk membelikan apa pun untuknya. Bahkan jika aku memberinya lampu hijau, dia pasti akan menolak.

Duh, bahkan kalau aku memberinya uang dan menyuruhnya untuk membeli sesuatu untuk dirinya sendiri, dia pasti akan kembali mengatakan sesuatu seperti 'tidak ada sesuatu yang bagus,' atau memilih sesuatu yang sangat murah. Jadi hari ini, aku memutuskan kalau aku akan membawanya jalan-jalan, aku tidak peduli apa yang orang lain pikirkan tentang ku.

"Hei, Yoshida-san ..."

Sayu memanggil dengan volume rendah, matanya fokus pada etalase. Rambutnya menutupi matanya, jadi aku tidak bisa melihat ekspresinya.

"Ada apa?"

Nada jawabanku yang tidak biasa sepertinya sudah mengganggu jalan pikiran Sayu. Bahunya melompat kaget dan dia dengan cepat mengangkat kepalanya.

"Ah ..." gumamnya.

Lalu, dia tiba-tiba berbalik ke arahku, dan tersenyum.

"Jadi Yoshida-san, aroma seperti apa yang kamu suka?"

"Hah? Tentang apa? ”

Senyum cerah Sayu yang tidak wajar dan pertanyaan tiba-tiba membuatku sedikit bingung. Aku tidak berpikir dia akan memanggil ku sedemikian rupa hanya untuk menanyakan pertanyaan ini.

"Aroma, ya ... Aku tidak terlalu peduli soal itu."

"Lalu, adakah aroma yang tidak kamu sukai?"

"Mengapa kau bahkan bertanya padaku seperti itu?"

"Nggak maksudku ..." Sayu bergumam sebelum berhenti. Dia melanjutkan dengan nada berbisik.

"Aku akan menggunakan ini di rumahmu, jadi aku nggak mau apa yang aku pilih punya aroma yang nggak kamu sukai. Kalau ada pilihan, aku cuma mau memilih yang kamu sukai ... Apa yang salah dengan itu? "

"Hah ..." Aku secara refleks menghela nafas.

"Kenapa kau begitu khawatir?"

“Kenapa aku khawatir!? Kamu membelikan ini untuk ku! Aku lebih suka untuk tidak menyusahkan mu lebih jauh jika aku bisa membantu.”

“Sungguh, tidak ada aroma yang tidak aku sukai, cukup pilih apa yang kau inginkan.”

“Nggak, pasti ada! Nggak ada satu orang pun yang tak memiliki aroma yang tak mereka sukai! ”

Kenapa dia begitu tegas soal hal ini? Yah, melihatnya bersikeras, aku rasa nggak ada salahnya untuk sedikit memikirkannya.

"Hmm ... Aroma yang tak kusukai ..."

Tiba-tiba terlintas dalam pikiran.

"Kayak sampah?"

Sayu tertawa terbahak-bahak.

"Bagaimana mungkin ada toner kulit yang punya bau seperti sampah?"

"Lalu bagaimana dengan bau keringat?"

"Ahaha, berhenti, aku ngakak!"

Sayu tertawa terbahak-bahak sambil menggelengkan kepalanya.

"Bukan itu yang aku maksudkan ... Seperti parfum apa yang tidak kamu sukai?"

"Parfum? Biarpun kau mengatakan itu, sepertinya aku tidak akan tahu ... ”

"Oh benar, bayangkan kamu berada di kereta bawah tanah!"

"Untuk apa?"

“Kamu tahu, saat kereta begitu penuh dan kamu berdesakan dengan orang lain. Kamu pasti mencium bau parfum seseorang, bukan?”

"…Betul."

Skenario yang agak spesifik membantu ku mengingat saat di mana aku mencium aroma yang agak tak tertahankan di kereta.

"Kalau dibilang begitu, mungkin aku akan mengatakan aroma koloye orang tua?"

"Ahh ... aku mengerti ... aku mengerti, tapi mungkin tidak ada toner kulit dengan bau yang mirip dengan koloye."

Mengatakan itu, dia mengambil botol dari etalase dan memeriksa daftar bahan. Dia bergumam "ini ..." dan "ini tidak memiliki aroma yang kuat ..." ketika dia membalik beberapa botol lainnya. Kecakapan yang jelas di mana dia memeriksa isi setiap botol mengkonfirmasi kecurigaan ku sebelumnya.

"Kupikir begitu," aku merenung ketika aku menghela nafas pendek.

Kembali ketika dia masih di kota kelahirannya, dia mungkin cukup terlibat untuk memilih produk sendiri dengan beberapa tingkat pengawasan. Namun, karena keadaannya di sini, dia harus menyerah pada minat semacam itu. Tentu saja, apa yang dia katakan tentang 'nggak akan mati tanpa ini' masih berlaku, tetapi tidak seperti sebelumnya, dia tidak lagi harus khawatir tentang kebutuhan dasar. Aku pikir tidak apa-apa baginya untuk menikmati 'hiburan', atau setidaknya sesuatu yang dekat dengannya.

Setiap kali aku memikirkan Sayu, pemikiran ku akan selalu mengarah pada satu pertanyaan tunggal ini.

Apa yang sebenarnya telah mendorong seorang gadis SMA yang normal untuk meninggalkan gaya hidupnya yang dulu, mengorbankan segalanya selain hidupnya hanya untuk melarikan diri dari rumah?

Saat pikiranku mulai tenang, Sayu tiba-tiba memanggilku.

"Yoshida-san, buah apa yang kamu suka?"

"Eh, ahh ..."

Perubahan topik yang tiba-tiba membuat ku terpaku dan aku tidak bisa mengumpulkan pikiran untuk segera menjawab. Sayu menatapku dengan bingung.

"Apa yang salah?"

"Oh, bukan apa-apa ... Hanya saja aku belum makan buah apa pun baru-baru ini."

"Eh— ... Lalu apakah ada buah yang kamu sukai ketika kamu masih kecil?"

"Ketika aku masih kecil ...?"

Kalau dipikir-pikir, aku juga tidak merasa orang tua ku makan banyak buah. Dan juga, kami bukan keluarga yang makan buah-buahan sebagai makanan ringan atau makanan penutup.

Namun, satu frasa muncul di benak ku.

"Aku ingin makan ini saat kita mengeluarkan kotatsu ..." Aku ingat mengatakan itu pada ibuku setiap musim dingin.

"Kurasa aku cukup menyukai jeruk mandarin ...."

"Jeruk mandarin, hmm ..."

Sayu mengangguk beberapa kali, sebelum berkata sambil tersenyum.

"Apakah rumahmu punya kotatsu?"

"Ya."

Aku menegaskan dengan senyum lemah. Sayu terkikik sebagai respon.

"Jadi yang beraroma jeruk akan bagus ..."

Mengatakan itu, dia mengambil botol dari etalase.

"Bagaimana dengan yang beraroma jeruk?"

"Hah…"

“Jangan menjawab dengan 'hah'.” Sayu menjawab dengan tidak senang.

"Maksudku, aku sudah memberitahumu untuk memilih apa pun yang kau suka, bukan?"

"Dan aku lebih suka memilih satu dengan aroma yang kamu suka."

"Tidak apa-apa asalkan itu tidak seperti kolonye."

Sayu dengan cemberut merengut, tidak mau menerima jawabanku. Kemudian, dengan apa yang telihat seperti ledakan inspirasi, dia berhenti dan menatapku, matanya sedikit terangkat.

"Apa yang kamu— ... Woah."

Sebelum aku selesai, Sayu menekan ku seolah mencoba untuk mengubur dirinya di dada ku.

"A-Apa yang kau lakukan!?"

"Yoshida-san."

Sayu menatap mataku dengan senyum nakal.

"Apakah aroma jeruk dari ku membuat hatimu berdenyut ...?"

"O-Oy—”

Penyangkalan refleksif ku terhenti secara tiba-tiba.

Tubuhnya cukup ramping, tetapi sebaliknya, wajahnya cukup jelas—dadanya cukup besar untuk seorang gadis SMA. Perasaan ku tumbuh lebih tajam dan sepertinya mempermainkan ku ketika aku merasakan sensasi kenyal dari tubuh Sayu terhadap tubuh ku.

Merinding naik ke sekujur tubuhku ketika aku buru-buru melompat menjauh dari Sayu.

"Tentu saja tidak…"

"Ahaha, tentu saja ~" kata Sayu sambil tersenyum lucu.

Jelas bahwa apa yang dia lakukan hanya untuk bermain-main denganku.

"Kamu ternyata nggak nafsuan meskipun kamu seorang pria dewasa, Yoshida-san."

"Sstt." Aku membantahnya dengan cemberut.

Sayu tertawa cekikikan sebagai tanggapan.

Lalu, dia menyenggol dadaku dengan sikunya.

"Yoshida-san."

"Hm?"

"... Terima kasih." Katanya sambil menyerahkan botol toner.

"Tidak masalah. Apakah kau yakin ini sudah cukup? "

"Ya. Aku tidak butuh yang lain, dan bagaimanapun akan cukup lama untuk menghabiskan satu botol. ”

“Oke, tapi bagaimana dengan makeup? Apakah kamu tidak membutuhkan itu? ” Tanyaku.

Setelah senyum yang dipaksakan singkat, Sayu menyeringai dan berkata dengan menggoda.

"Apakah kamu ingin melihatku memakai makeup yang tebal?"

"Tidak juga."

"Kalau begitu aku tidak membutuhkannya."

Aku mengambil botol darinya dan menuju ke kasir.

"Harganya 1.578 yen."

Itu jumblah yang cukup besar ... Aku berfikir selagi mengeluarkan dua lembar uang dari dompet ku dan meletakkannya di atas plat kasir.

"Gadis-gadis SMA memang banyak pengeluaran."

Aku berbisik kepada Sayu. Dia menjawab setelah tertawa kecil.

"Kamu tidak tahu?"

Dia berkata seolah-olah itu adalah urusan orang lain, seolah-olah dia sendiri bukan gadis SMA. 'Hanya karena kau tidak pergi ke sekolah bukan berarti kau bukan gadis SMA' adalah apa yang ingin aku katakan, tetapi aku memutuskan untuk tidak melakukannya.

"Karena kita sudah pergi keluar, mengapa kita tidak membeli sesuatu yang lain?"

Kataku sambil menyerahkan kantong plastik yang berisi toner ke Sayu. Dia melirik dengan tatapan ragu ke arahku.

"Apa yang kamu maksud dengan sesuatu?"

Sudah jelas bahwa dia khawatir kalau aku mungkin berencana membeli sesuatu yang lain untuknya. Memaksa senyum sebaik mungkin, aku mengangkat bahu.

"Sesuatu."

Mengatakan itu, aku mulai mencari-cari eskalator menuju lantai atas.

"Jika kau hanya akan berdiri di sana, maka aku akan meninggalkanmu."

"Hei, tunggu sebentar."

Sayu buru-buru mengejarku.

Untuk saat ini, aku harus menemukan sesuatu yang akan membantunya membunuh waktu di rumah.

Meskipun begitu, aku tidak bisa tidak berpikir bahwa ini jauh lebih baik daripada pergi berbelanja sendiri.

Aku melirik Sayu, yang memiringkan kepalanya.

"Ada apa?"

"Tidak ada, kok ..."

Mungkin agak aneh bagi ku untuk mengatakan ini, tetapi aku merasa seperti aku sudah menikmati diri ku sedikit lebih banyak sejak Sayu datang.

Aku bukan orang dengan banyak hobi. Pada hari-hari liburku, aku cenderung hanya tidur dan menjelajahi internet. Satu-satunya olahraga yang aku lakukan adalah berlari sesekali di atas treadmill. Dengan demikian, tidak terlalu mengejutkan bahwa satu-satunya saat aku pergi keluar, adalah untuk membeli makanan dan pakaian minimum. Yang berarti, aku biasanya tidak pergi ke toko departemen di stasiun terdekat dari rumah ku. Bahkan jika aku melakukannya, itu hanya untuk membeli apa yang aku butuhkan dengan cara cepat dan pulang.

Sekarang aku berpikir tentang hal itu, sudah lama sejak aku pergi berbelanja dengan santai.

Alasan untuk semua perubahan ini adalah karena Sayu.

Dari semua perubahan ini, yang terbesar mungkin adalah pikiran kosong yang aku miliki selama perjalanan pulang-pergi ku.

Sebelum bertemu dengannya, semua yang akan aku pikirkan selama perjalanan adalah pekerjaan yang telah ku lakukan hari itu serta tugas yang harus aku selesaikan di hari-hari mendatang. Begitu sampai di rumah, biasanya aku hanya mandi dan tidur. Aku tidak akan pernah merasa harus terburu-buru untuk sampai ke rumah.

Namun baru-baru ini, pikiran ku telah berputar dan semua tentang Sayu. "Apakah dia punya masalah saat aku pergi bekerja?", "Dia tidak tiba-tiba pergi, kan?" dan pemikiran serupa lainnya akan selalu memenuhi pikiranku ketika aku bergegas pulang. Seolah itu benar-benar diperlukan, aku akan meninggalkan pekerjaan tepat waktu dan bergegas naik kereta paling awal yang bisa aku kejar. Turun di stasiun terdekat dengan rumah, aku akan berjalan secepat mungkin tanpa rasa lelah.

Itulah seberapa besar dampak yang Sayu buat dalam hidup ku.

Meskipun dia adalah orang asing yang kebetulan datang ke rumahku hanya karena situasi, aku mendapati diriku tidak mampu meninggalkannya sendirian.

Apakah itu karena dia hanya seorang gadis SMA? Apakah itu karena aku menemukannya saat situasinya sedang menyedihkan? Atau apakah itu sesuatu yang lain? Sejujurnya aku tidak tahu. Hanya saja ...

"Yoshida-san?"

Bahuku melompat kaget.

"O-Oh ... Ada apa?"

“Itulah yang akan kutanyakan padamu. Kamu mengerutkan alismu dengan sangat kuat sekarang. ”

"Eh? Uhuh ... "

Sepertinya aku memiliki kebiasaan mengerutkan alis ketika aku berpikir mendalam tentang sesuatu.

"Maaf, aku hanya memikirkan sesuatu."

"Dan soal apa 'sesuatu' itu?"

"Jangan khawatirkan tentang itu."

Aku mencoba yang terbaik untuk tersenyum dengan harapan bisa mengatasinya. Sayu tersenyum kaku sebagai tanggapan dan mengangguk.

Ah, ini dia.

Sayu adalah seorang gadis yang mengubah ekspresinya dengan cepat dan sering. Meskipun, yang paling menggangguku adalah rasanya sebagian besar ekspresinya hanyalah 'tanggapan yang cocok' terhadap lingkungannya.

Setiap kali aku melihatnya tersenyum, aku bertanya-tanya apakah dia benar-benar bersungguh-sungguh.

"Sayu."

"Ada apa?"

Ketika kami sampai di eskalator, aku menoleh untuk melihat Sayu, yang mengembalikan tatapanku ketika dia mengikuti.

"... Kau bisa, uhm ..."

Aku tidak bisa mengucapkan kata-kata itu.

"Kau bisa mengandalkan ku lebih lama lagi."

Tidak ada keraguan kalau itulah yang ingin aku katakan.

Tetapi setelah berpikir tentang implikasi di balik kata-kata itu, sepertinya semua terlalu absurd.

"Sebenarnya, sudahlah lupakan saja..."

"Eh?"

"Aku lupa apa yang ingin kukatakan."

"Eh—, apa-apaan ini."

Dia hanya bisa mengandalkan ku jika hati nuraninya mengizinkannya, tetapi itu berarti aku tidak cukup bisa diandalkan.

Mengatakan itu padanya pada saat itu hanya akan menjadi dangkal. Itu hanya akan berfungsi mengganggunya lebih daripada memberikan jaminan.

Tidak perlu terburu-buru untuk saat ini. Bangun jalur komunikasi yang aman di antara kami sedikit demi sedikit, dan tunggu sampai dia siap terbuka untuk ku.

"Hei Yoshida-san."

Ketika kami tiba di lantai dua, Sayu memanggilku.

"Hm?"

"Uhm ... Erm ..."

Sayu menghindari tatapanku, bergumam dengan agak menggerutu.

"Apa itu?"

Setelah bertanya sekali lagi, Sayu menjawab dengan sedikit memerah.

"Perutku rasanya ... terasa sedikit kosong."

Aku benar-benar terkejut. Untuk sesaat di sana, aku bahkan tidak tahu harus berpikir apa. Namun, detik berikutnya, aku tertawa terbahak-bahak.

"'Perutku terasa sedikit kosong', katamu?"²

"Nyah, maksudku adalah ..."

“Aku mengerti, aku mengerti, kau lapar, khan? Lalu mengapa kita tidak membeli sesuatu untuk dimakan? ”

Aku naik eskalator lain sambil mencoba menahan tawa.

"Aku pikir ada beberapa restoran di lantai atas."

"Mm."

Sayu mengikuti sesaat di belakangku dengan sedikit lega dalam suaranya.

Berangsur-angsur aku menenangkan napas, menyelesaikan dengan napas yang terdengar dari hidung.

Aku meperhatikan kalau Sayu telah menyerah untuk meyakinkan ku. Mengetahui hal itu, aku akan melakukan apa yang aku bisa untuk memberinya kelonggaran sebanyak mungkin.

"Karena kau membuat semua makanan di rumah, mengapa kau tidak memilih apa yang ingin kau makan sekarang selagi kita keluar?"

Mendengar apa yang ku katakan, Sayu tersenyum malu-malu dan menggelengkan kepalanya beberapa kali.

"Mm ... kurasa tidak apa-apa sesekali."

Ritual kecilnya memiliki pesona yang tidak bersalah.

Saat-saat seperti inilah yang mengingatkan ku kalau dia memiliki senyum yang sangat indah. Semakin aku melihatnya, semakin aku ingin dia lebih sering tersenyum. Itulah yang ku yakini dengan jujur.

"Jadi, apa yang ingin kau makan?"

"Sesuatu yang tidak bisa kita makan di rumah mungkin bagus ... Bagaimana dengan telur dadar di atas nasi?"

"Tidak bisakah kita makan itu di rumah?"

“Itu tidak sama seperti di rumah! Kamu hanya biasa mendapatkan Telur dengan bagian yang lembut dan halus di restoran !! ”

"A-aku mengerti ..."

Saat kami menuju restoran dengan olok-olok konyol, aku bisa merasakan perasaan tidak nyaman yang kurasakan tentang Sayu yang terhanyut.

Pada saat yang sama, aku merasa sedikit malu akan diriku ku yang membuat seorang gadis yang jauh lebih muda daripada diri ku sendiri yang mengutamakan kebutuhan ku.

×××

"Ini sangat berat ..."

"Ayo, kamu hampir sampai."

Aku membuka kunci dan membuka pintu depan apartemen, basah oleh keringat. Sayu masuk di depanku dengan kantong plastik di masing-masing tangan.

"Haaaah ... Itu sangat berat, aku pikir aku akan mati."

"Bukankah kamu agak melebih-lebihkan ...? Juga, bisakah kamu cepat-cepat? Ini nggak seperti tas ku yang lebih ringan dari milikmu. ”

“Bukankah ini yang orang sebut 'menuai apa yang kau tabur' ...? Heave-ho. "

Menolak keinginan untuk mengeluh, aku mengambil set tas plastikku dari tanah dan mengikuti Sayu ketika aku melepas sepatu dan memasuki ruang tamu.

Di pundakku ada kantong kertas berisi banyak buku manga dan buku-buku sampul lain. Ruang mencengkeram kantong kertas tiba-tiba terasa sesak, jadi tidak banyak yang bisa aku lakukan tentang rasa sakit karena kantong-kantong itu tersangkut di pundak ku.

Ini adalah pertama kalinya dalam hidup ku kalau aku telah membeli cukup banyak buku dan meminta kantong kertas untuk menampungnya.

“Apa kamu yakin punya waktu untuk membaca banyak buku ini? Biasanya kamu hanya makan, mandi, dan langsung tidur. ”

"Aku bisa meluangkan waktu untuk mereka pada hari-hari liburku."

Setelah makan telur dadar yang agak mahal di atas nasi, kami berjalan-jalan di sekitar department store, di mana kami segera menemukan toko buku. Kami masuk untuk melihat-lihat, tetapi berakhir dengan sedikit berbelanja.

Ada waktu di mana aku akan membaca manga atau membeli majalah shounen mingguan selama perjalanan ku. Namun, setelah menyadari betapa sulitnya membaca buku di kereta yang penuh dan sesak, aku menyerah setelah satu bulan kegigihan ku. Sepertinya beberapa manga yang aku pikir agak menarik masih aktif diterbitkan. Karena aku sudah ada di sana, aku pikir aku mungkin juga membeli semuanya untuk dibaca nanti.

Yah, itu hanya alasan yang masuk akal. Tentu saja, ada bagian dari diri ku yang benar-benar ingin membacanya, tetapi aku pikir akan lebih baik bagi Sayu untuk memiliki sesuatu yang nyata untuk menghabiskan waktu selama waktu luangnya. Jadi, selain manga, aku juga membeli beberapa buku dengan label iklan seperti 'Meledak dalam popularitas di kalangan anak muda!' dan juga, dalam tingkah yang agak tidak wajar, sebuah buku literatur berjudul 'Alasan Aku Melarikan Diri' , ditulis oleh seorang gadis yang meninggalkan rumah untuk waktu yang lama selama tahun-tahun sekolahnya.

Jika aku menawarkan untuk membeli buku untuknya, dia pasti akan menolak, jadi pada akhirnya, aku memutuskan untuk membelinya dengan dalih menginginkannya untuk diriku sendiri. Baru setelah aku menyelesaikan pembelian, aku menyadari bahwa tumpukan buku lebih berat daripada yang aku bayangkan. Akibatnya, aku basah kuyup oleh keringat saat aku tiba di rumah.

"Hei ... tentang semua ini ..."

Kantong plastik di tangan Sayu berisi banyak sekali bahan makanan.

"Kenapa kita tidak makan sedikit lebih mewah di rumah juga?" Aku telah menyarankan begitu, tetapi ketika aku bertanya pada Sayu apa yang dia suka makan, ternyata dia suka makan hidangan dengan rasa lembut, dan lebih lembut. Di sisi lain, aku lebih suka hidangan dengan rasa yang lebih kuat dan lebih menonjol.

Untuk membuat masakan itu, kami akhirnya membeli setiap bahan yang mungkin kami butuhkan, yang menghasilkan jumlah besar bahan makanan.

"Apakah kamu pikir ini akan muat di kulkas?"

"... Uh."

Aku tidak berpikir sejauh itu.

Tak perlu dikatakan bahwa ukuran kulkas untuk seorang pria lajang tanpa keinginan untuk memasak. Untuk memulainya, mengingat dimensi rumah ku, ukuran peralatan ku harus sangat kecil terlepas dari apakah aku memasak sendiri atau tidak.

Aku buru-buru membuka kulkas dan menatap ke dalam. Lalu, aku mengalihkan pandangan ke arah tas di sisi Sayu.

"... Yah, itu akan muat kalau kau mendorongnya."

"Ahaha, ayo kita coba itu."

Dengan terkikik, dia pindah ke kulkas dan meletakkan tas-tasnya.

“Hmm, mari kita habiskan hari ini membuat makanan yang sudah jadi. Kamu tahu, seperti goya chanpuru³. Ini juga akan membuat ruang untuk meletakkan Tupperware, ” kata Sayu sambil mengambil isi kantong plastik dan meletakkannya di kulkas.

Mengingat betapa efisiennya dia melakukannya, aku merasa seperti akan benar-benar menghalangi jika aku mencoba membantu, jadi aku pindah ke ruang tamu.

Menempatkan kantong kertas di meja ruang tamu, aku mengeluarkan buku-buku dan meletakkannya di tempat tidur. Aku jarang membaca buku, jadi aku tidak punya rak buku untuk menyimpannya.

"Tentang manga dan buku-buku."

Mendengar suaraku yang keras, Sayu menutup kulkas untuk sementara dan mengintip ke arahku.

"Hm?"

"Jika kau punya waktu luang di siang hari, jangan ragu untuk membacanya."

Meskipun jarak antara kami, aku bisa melihat tatapannya goyah. Pupil matanya dilemparkan ke bawah, tetapi dia dengan cepat mengingat kembali pikirannya.

"Baik. Kalau aku punya waktu, aku akan melakukan itu.”

"Oh, tapi apa pun yang kau lakukan, jangan memanjakan aku."

"Aku tidak akan melakukan itu, ya ampun."

Sayu terkikik ketika dia mengembalikan tangannya ke dalam kantong plastik. Aku pikir dia akan melanjutkan tugasnya membongkar isinya ke dalam kulkas, tetapi dia malah berhenti mendadak.

"Hah, ada apa?"

Aku memanggil Sayu, yang terhenti tiba-tiba. Kantong plastik telah ditempatkan jauh dari koridor, jadi aku tidak bisa melihat ekspresinya.

"Hei Yoshida-san ... kenapa kamu begitu—"

Sayu sekali lagi terhenti.

"Begitu…?"

Aku bertanya, ingin tahu. Sayu berbalik menghadapku, senyum di wajahnya.

"Setelah dipikir-pikir, tidak apa-apa."

"Hei, ayolah, jangan biacara menggantung seperti itu."

“Ini benar-benar tidak penting. Jangan khawatir tentang itu. "

"Ya ampun ..."

Dengan 'Ahaha' yang keras, Sayu sekali lagi membuka kulkas dan mulai membongkar isi kantong plastik.

Sejujurnya, aku sangat kesal.

Padahal, itu tidak seperti percakapan yang tidak jelas yang kami miliki beberapa saat yang lalu.

Yah, aku tidak bisa sepenuhnya mengatakan itu tanpa bayang-bayang keraguan, tapi terlepas dari itu, yang paling membuatku tersinggung adalah 'senyuman' miliknya.

Tidak ada yang perlu ditertawakan, tetapi dia tertawa. Dia tersenyum, tetapi tanpa tujuan yang jelas.

Itu biasa di antara orang dewasa. Mampu tersenyum adalah suatu keharusan, baik itu dalam dunia bisnis atau dunia sosial. Tidak ada kesalahan dalam memiliki keterampilan seperti itu; sebaliknya, aku cenderung percaya bahwa tidak memiliki keterampilan seperti itu akan menyebabkan kesulitan bagi orang dewasa seperti ku.

Meskipun begitu, aku tidak bisa menahan perasaan sedih di dadaku mengetahui bahwa seorang gadis sekolah menengah seperti dirinya mahir dalam trik licik.

Tidak apa-apa bagi anak-anak untuk tertawa ketika mereka senang? Bukankah seharusnya anak-anak tidak memiliki kewajiban untuk tertawa ketika mereka tidak mau?

"Berhentilah memaksakan dirimu untuk tertawa."

Aku akhirnya berbicara, setelah meneliti kata-kata ku dengan hati-hati.

Sayu berhenti dengan melengking.

“Tertawalah ketika kau ingin tertawa. Aku tidak membutuhkanmu untuk menjadi sinar matahari dan pelangi di sekitarku setiap saat. ”

Sayu berbalik ke arahku saat aku melanjutkan. Ekspresinya sangat kacau dan bingung. Mungkin aku sangat mengganggunya, tetapi aku tidak bisa berhenti pada titik ini.

“Kau tidak perlu begitu perhatian di sekitarku. Ini mungkin bukan rumahmu, tapi ... "

Bagaimanapun, dia tidak akan bisa kembali ke tempat asalnya sebelum dia beres secara internal. Aku pasti tidak akan mengusirnya juga.

“Paling tidak, kau bisa tinggal di sini. Selama kau memegang janjimu kepada ku, kau dapat tinggal di sini selama yang kau suka. Itu sebabnya ... Kau tidak perlu membuat senyum licik. "

Setelah aku menyelesaikan semua yang harus aku katakan, tatapan Sayu tampak berkeliaran di seberang ruangan. Dia menghela nafas panjang untuk menenangkan pikirannya yang bermasalah dan dengan malu-malu mengangguk beberapa kali.

"Mm ... maafkan aku."

Mengatakan itu, Sayu menatap mataku.

"Yoshida-san."

"Apa?”

"Sebelumnya, aku ingin bertanya padamu ... 'Mengapa kamu begitu baik padaku?'."

Ujung bibirnya terangkat sedikit ketika dia mengatakan itu, tetapi segera diikuti dengan desahan.

"Tapi aku berpikir bahwa mengatakan itu tidak ada gunanya, jadi aku berhenti."

"Tidak ada gunanya?"

"Yoshida-san, jika aku bertanya padamu sekarang, apakah kamu bisa menjawab?"

Pertanyaannya membuat ku kehilangan kata-kata.

"Tidak ... untuk memulai, aku tidak menganggap diriku baik."

"Lihat? Dan itulah kenapa—"

Kata-kata Sayu melambat hingga berhenti. Lalu, dia tersenyum.

Kali ini, senyumnya benar-benar menjadi dirinya sendiri. Tentunya, inilah bagaimana Sayu akan tersenyum secara nyata.

“Aku yakin kamu baik tanpa alasan. Tidak ada gunanya bertanya. "

"Eh, itu tidak benar—"

"Tentu saja. Aku belum pernah bertemu orang yang sebaik dirimu sebelumnya, Yoshida-san. ”

Sayu membungkam protes ku ketika dia bergerak di sebelah ku dan duduk.

"Jadi, jika kau tidak menyukainya, maka aku akan berhenti."

"…Berhenti?"

Sayu menjadi cemberut dengan tanggapan ku, ringan menusuk sisi ku saat dia melanjutkan.

"'Kau tidak perlu begitu perhatian di sekitarku.', ‘Kamu tidak perlu membuat senyum licik seperti itu.’ Bukankah itu yang kamu katakan? "

"Ahh ..."

"Aku akan mencoba yang terbaik untuk berhenti bersikap terlalu perhatian dan berhenti dengan senyum licik itu, ya ...?"

Dia menatap lurus ke mataku. Matanya yang sedikit terbalik akibat perbedaan tinggi badan kami sedikit mengejutkanku.

"Ya, mari kita lakukan itu." Kataku sambil mengalihkan tatapanku.

Sayu yang ada di sampingku mengangguk beberapa kali, tegas.

"Tapi ... tentang senyumku itu ... Itu sudah menjadi kebiasaan, jadi berhenti sebentar mungkin sedikit ..."

"Tidak apa-apa. Aku mengerti. ” Kataku sambil mengangguk, merasakan tatapannya.

Ekspresi itu adalah kebiasaan yang sudah tertanam di dalam dirinya. Tidak perlu banyak untuk mengerti bahwa itu bukan sesuatu yang dapat diubah dalam sehari.

Paling tidak, aku yakin itu adalah kebiasaan yang ditanggung karena kebutuhan. Hanya mengetahui bahwa dia berada dalam situasi seperti itu membuat ku marah.

“Kebiasaan itu tidak mudah untuk diperbaiki. Luangkan waktu mu dengan itu. "

"... Kamu benar-benar baik."

"Hei, aku sudah memberitahumu ini sebelumnya, tapi aku bukan pria rendahan seperti itu ..."

"Maksudku nggak begitu. Aku yakin akan hal ini. ” Sayu menyela ku.

Kemudian, dia mengambil tanganku ke tangannya.

“Tidak semudah yang kamu pikirkan untuk mentolerir orang lain. Aku tidak berpikir bahwa siapa pun dalam hidup ku telah menjadi toleran terhadap ku seperti dirimu. Yoshida-san ... kamu benar-benar baik. "

Ada beban aneh di balik kata-katanya. Meskipun aku merasa tidak nyaman karena disebut baik, aku tidak bisa menahan diri untuk membantah.

"Aku ... aku tidak yakin apakah aku bisa mengungkapkan ini dengan benar dengan kata-kata ..."

Sayu melanjutkan, tangannya masih memegang tanganku.

"Tapi aku selalu berpikir pada diriku sendiri bahwa 'Aku seharusnya tidak mengganggumu', meskipun fakta bahwa aku tinggal di sini seharusnya sudah menjadi masalah besar bagimu."

"Haha, kau tidak bilang," kataku, menghembuskan napas keras dari hidungku.

Sayu tertawa pelan, dan melanjutkan.

“Karena itulah aku akan berhenti berpikir seperti itu. Dari sekarang…"

Sayu meremas tanganku dengan erat.

"Aku akan melakukan yang terbaik untuk membuatmu berpikir 'syukurlah dia ada di sini' ... Kedengarannya bagus, khan?"

Mau tak mau aku tertawa terkikik ketika mendengar itu. Aku bisa melihat keterkejutan Sayu di sudut penglihatanku.

“A, Apa! Apakah aku mengatakan sesuatu yang aneh? "

"Tidak juga, ini lebih seperti ..."

Dia juga cukup berprinsip bukan?

Jujur, aku ingin dia lebih egois, lebih memanjakan. Aku akan baik-baik saja dengan itu, tetapi karena satu dan lain alasan, sepertinya dia tidak akan tenang sampai dia membalas budi secara penuh.

"Kamu juga cukup baik, kurasa."

"Hah? Ba, Bagaimana bisa ...? ”

"I-Itu hanya ..."

"Apa artinya itu~?"

Sayu secara terbuka merajuk pada jawabanku. Perilaku kekanak-kanakannya menawan dengan cara tertentu.

Sambil tersenyum, aku menepuk pundak Sayu dan berkata.

“Baiklah kalau begitu, aku akan mengharapkan hal-hal yang lebih besar dari sini. Aku akan mengharapkan makanan lezat setiap hari. "

Sayu tampak kosong sesaat, tersenyum malu-malu ketika kesadaran melanda.

"Tentu, nantikan itu!"

Senyumnya yang tulus dan suasana hati yang santai, sesuai dengan usianya, tampak jauh lebih alami.

Aku ingin dia selalu memiliki ekspresi seperti itu.

Alasan aku akan berpikir itu pasti karena ego ku, tetapi aku tidak bisa tidak berpikir demikian.

Itulah yang membuat senyumnya yang alami sangat menarik.


Catatan Penerjemah:

¹ Sugar Daddy adalah sebutan untuk pria tua yang punya pasangan muda (mis. Hotman Paris)

² Ini adalah penyimpangan dari aslinya, yang melibatkan beberapa permainan kata pada bagian Sayu yang mengarah ke "Kenapa kamu menggunakan honorifik" pada bagian Yoshida.

³ Goya chanparu adalah sejenis salad atau ... sesuatu semacam masakan dengan beberapa bahana khusunya pare dan daging. (Atau selebihnya bisa kamu temukan di Wikiworld's)
Share Tweet Share

Comment Now

1 Comments:

    Please wait....
    Disqus comment box is being loaded