Chapter 9: Ponsel
"Hei."Orang yang menerima tatapan dinginku tidak lain adalah Mishima.
"Ah, Yoshida-senpai, apakah kamu ingin pergi makan siang bersamaku?"
“Bukan itu tujuanku datang kemari, dasar bego. Kau ini punya jadwal mengacau sehari sekali apa gimana?”
Mishima memiringkan kepalanya dengan bingung.
“Apa maksudmu?” dari gerakannya dia sepertinya akan bertanya seperti itu selagi memasang wajah bodoh. Ayolah, jangan bertingkah seolah aku gak tau kalau kau hanya menyembunyikan keterampilanmu.
"Benerin, nih."
"Ba—Bagian mana?"
“Kurasa aku nggak perlu menjelaskan itu, kan?” Kataku ketika aku mendekat ke Mishima.
Aku bisa merasakan nadaku akan meledak frustrasi. Mishima dengan panik mengamati sekelilingnya, mendekatkan wajahnya, dan berbisik ke telingaku.
“Aku kan udah bilang pada Senpai kemarin kalau aku mau bermalas-malasan …”
Kok dia bisa berfikir optimis? Aku mengkarkan tangan di bahunya dan menatap langsung ke matanya.
Dengan begini, orang-orang di sekitar harusnya gak bisa dengar.
“Dengar, ya! Hanya karena aku nggak bilang apa-apa kemarin ketika kita minum, bukan berarti aku menyetujui rencanamu. Maaf saja, tapi jangan salah faham.”
“Nggak mungkin! Apa itu artinya Senpai akan memaksaku agar bekerja lebih keras?!”
“Apa kau masih harus bertanya? Semua orang kecuali dirimu sudah bekerja keras, tahu!”
"Ung ..."
Mishima bahkan tak berusaha menyembunyikan kekecewaannya.
Aku memalingkan pandangan dari Mishima sejenak, hanya untuk mencari pandangan dengan Gotou-san.
Dalam rasa malu, aku buru-buru menarik lenganku menjauh dari bahu Mishima dan berdeham.
"Pokoknya, selesaikan sebelum istirahat sore."
“Apa?! Tapi waktu yang tersisa kan cuma satu jam sampai jam istirahat.”
Aku hanya tersenyum menanggapi protes Mishima.
"Kamu harus melakukannya."
"Ueeegh ..."
Dia tahu apa yang harus dia lakukan, jadi aku akan membuatnya melakukannya. Kalau dia tak melakukan banyak pekerjaan dan cuma jadi penghangat kursi, tidak cuma dia yang akan dapat masalah.
Setelah melirik Mishima, yang dengan enggan memulai pekerjaannya, aku kembali ke kursiku.
Tapi—
“Yoshida-kun! Apakah kau punya waktu? " Sebuah suara memanggil ku dari jauh.
Aku dengan cepat berbalik, kaget. Suara itu milik Gotou-san.
"Aku?"
Saat aku memiringkan kepalaku dengan bingung, Gotou-san mengangguk ke atas beberapa kali, mengisyaratkan aku untuk datang ke mejanya.
Eh, ada apa, nih? Apakah aku melakukan kesalahan?
Aku mengeluarkan keringat dingin.
Tentu, itu sangat aneh bagi ku karena dia baru saja menolak ku belum lama ini, tapi secara bersamaan, dia adalah atasanku.
Gotou-san, yang juga memegang posisi dalam MSDM [1], belum benar-benar campur tangan dengan pekerjaan ku baru-baru ini, jadi tiba-tiba dipanggil olehnya—atasan ku—adalah sebuah pengalaman yang menegangkan.
Ketika aku semakin berkeringat, aku perlahan-lahan berjalan menuju mejanya. Dia hanya tersenyum dan mengetik sesuatu di keyboard.
Kemudian, dia menunjuk ke arah monitor komputernya dan tersenyum lagi. Kamu ingin aku melihat ke arah monitor? Untuk apa?
Mengikuti gerakannya, aku dengan takut-takut mengintip ke monitor.
“Apa kau punya waktu untuk pergi sepulang bekerja besok?”
Itulah yang ditulis di dokumen Word yang kosong.
"Eh, besok?"
Gotou-san dengan cepat mengembalikan isyarat 'Ssst' ketika aku bertanya.
"Hubungi aku tentang ini nanti."
Membisikkan itu, Gotou-san menghadap monitornya lagi seolah-olah tidak ada yang terjadi secara khusus.
Apa? Apa artinya ini? Ini jelas bukan ajakan semacam 'ayo pergi minum!'.
Kencan?! Nggak mungkin, kenapa ada orang yang meminta berkencan bersama orang yang baru saja dia tolak?!
Saat aku berdiri di sana dengan kaku, Gotou-san melirikku.
"Kau bisa pergi sekarang."
"Ah, kalau begitu, aku pergi dulu.”
Pada dasarnya dia mengajak ku pergi tanpa mengatakannya secara terang-terangan. Aku berbalik dan kembali ke tempat duduk ku.
Intinya, aku akan pergi ke suatu tempat bersama Gotou-san sepulang bekerja besok.
Aku mau bilang kalau aku merasa bahagia, tapi masalah yang sebenarnya bukan itu. Rasanya agak aneh.
Ketika aku berjalan menuju kursi ku, aku melihat keseliling kantor, dan tatapanku bertemu dengan Mishima.
Dia sepertinya sengaja menghindari tatapanku, menekan keyboard secara acak untuk mengalihkan perhatian.
Terlepas dari hal yang membingungkan dan kembali bekerja. Meskipun aku mengutuk secara internal, pikiranku dengan cepat kembali ke masalah tentang Gotou-san.
Untuk apa dia memanggilku? Pikiran ku selalu dalam keadaan tegang.
×××
"Mm, jadi Gotou-san ngajak kamu makan malam?”Selagi dia melanjutkan pekerjaannya pada rebusan daging dan kentang buatan sendiri, Sayu berkedip beberapa kali karena terkejut.
Saat aku sedang di kereta, aku menerima pesan dari Gotou-san.
“Maaf soal tadi. Maukah kamu ikut makan malam bersama sepulang bekerja besok?” Tulisnya.
“Bukannya itu bagus buatmu?”
“Itu nggak bagus…, aku bertanya-tanya, apa yang sebenarnya dia mau?”
“Bukannya dia cuma mau mengajakmu makan malam bersama?”
“Itu mah mustahil banget! Gak mungkin alasannya sesederhana itu!”
Sayu menanggapi “Eh~?” dengan senyum setengah hati lalu dia kembali ke pekerjaannya.
Bocah SMA mungkin nggak akan ngerti, tapi di dunia bekerja, ada banyak maksud tersembunyi di balik hal-hal semacam ‘pergi makan malam’ dan ‘minum-minum’.
Contohnya, bisa saja ini hanyalah kesempatan untuk membicarakan tentang promosi yang datang secara tiba-tiba, atau mungkin juga hal lainnya.
Ketika aku pertama kali bergabung di perusahaan, salah satu atasanku pada waktu itu pernah mengajaku ke sebuah bar untuk memarahiku dengan lembut soal pekerjaan dan membicarakan soal masalah sensitif lainnya, mengatakan sesuatu seperti ‘Itu buruk banget, kan?’ sebagai tambahannya.
Kecuali kalau aku punya hubungan persahabatan erat dengan atasan, sulit berfikir agar tidak gugup ketika pergi bersama mereka.
“Jangan terlalu khawatir soal itu. Ayo cepat makan, nanti keburu dingin, lho.”
"Mm ... Terima kasih untuk makanannya."
Ketika Sayu memberi isyarat, aku mulai memakan rebusan yang masih panas dan mengepul. Aku mengambil sepotong kentang cokelat keemasan dengan sumpit dan dengan perlahan memasukannya ke dalam mulut.
“Enak beud!”
"Sungguh? Syukurlah!"
Sayu mengangguk puas. Dia mengambil sepotong kentang dari semangkuk sup dan mencobanya.
"Mmm, ini benar-benar enak~"
"Kau benar-benar sangat pintar dalam memasak."
Mendengar apa yang aku katakan, Sayu tersenyum malu-malu.
“Jangan pernah ragu untuk lebih memujiku~”
"Itu pasti, koki nomor satu di Jepang."
"Kau bisa bilang begitu!"
Sayu terkikik saat dia makan sepotong daging bersama dengan nasi.
Harus ku akui kalau Sayu sangat luar biasa dalam memasak. Bisa dibilang, kalau dia sering memasak di rumah.
…, Apa orang tuanya mengajarkannya cara memasak? Ketika pertanyaan itu muncul di benak ku, aku segera menggelengkan kepala mencoba mengabaikannya. Tidak ada sesuatu yang bagus akan terjadi dari merenungkan pertanyaan semacam itu.
"Apa ada yang salah?"
"Tidak, bukan apa-apa."
Sayu memiringkan kepalanya ke satu sisi khawatir, tetapi aku menyumpal mulutku dengan nasi, seolah-olah tidak ada yang terjadi.
Dia tidak menyelidiki lebih jauh dan kembali makan.
"Jadi, kamu akan pergi?"
"Hm?"
"Pergi makan bersama Gotou-san."
Sayu berhenti menggerakkan sumpitnya dan menatapku dengan tajam.
Aku mengangguk.
“Lagipula, aku nggak bisa menolaknya.”
“Kenapa? Apa karena kamu menyukainya?”
"Karena dia atasanku."
Bibir Sayu melengkung membentuk “へ”, tidak mampu mengerti alasanku.
“Bilang aja, itu karena kamu sangat menyukainnya, kan?”
"Nggak, bukan soal itu."
"Jadi, kamu nggak suka dia?"
"Sungguh, ini dua hal yang berbeda."
Sayu mengeluarkan suara 'hmpf' dengan hidungnya, seolah menolak jawaban ku.
“Jadi, kamu masih menyukainya, kan?”
“…, Rasanya sulit buat pergi keluar bersamanya. Aku sudah menyukainnya selama 5 tahun.” Kataku, merasakan sakit di dadaku.
Sayu memasang ekspresi kaget, dia memalingkan mukanya dan meminta maaf.
"Maaf."
"Nggak perlu tegang. Gak masalah kalau menganggap ku sebagai pria yang menyedihkan, sungguh. ”
"Nggak seperti itu, kok."
Sayu menggelengkan kepalanya.
"Yoshida-san, aku pikir kamu sungguh keren. Kalau seandainya Gotou-san nggak punya pacar, gak akan ada keraguan kalau kamu akan diterima olehnya, tahu. ”
"Haha, kau gak perlu menghiburku seperti itu."
"Aku mengatakan hal yang sebenarnya, kok."
Jujur, semakin dia mencoba menghiburku, semakin aku merasa sedih.
Aku tersenyum layu.
“Pokoknya, aku akan pergi makan malam bersamanya besok. Aku gak bisa nolak undangan dari atasanku, apalagi kalau itu Gotou-san.”
“Baiklah. Aku rasa aku nggak perlu memasakan makan malam buatmu besok, kan?”
Sayu mengangguk dan bertanya.
Benar, aku menyia-nyiakan makan malamnya kemarin ketika aku pergi minum dengan Mishima. Masuk akal buatnya menanyakan hal itu bersamaan dengan apa aku akan menerima undangan Gotou-san besok atau tidak.
Memahami niatnya, aku mengangguk.
"Ya, aku tak akan ada di sini."
"Baiklah."
Setelah itu, sebuah pikiran tiba-tiba muncul di benak ku.
"Ngomong-ngomong, kau gak punya ponsel, kan?"
"Ponsel, ya …,”
Sayu menunjukkan senyum kaku dan menggelengkan kepalanya.
"Nggak, aku gak punya."
Bahkan mengingat keadaannya, aku cukup terkejut.
Di masa dan zaman di mana bahkan anak SD membawa smartphone, aku gak bisa berhenti berfikir kalau anak SMA yang justru lagi berkembang malah gak punya smartphone.
"Apa kau meninggalkannya di rumah?"
Sayu menggelengkan kepalanya.
"Ketika aku berada di sekitar Chiba, teman-temanku …, Maksudku, teman-teman sekelasku saat aku bersekolah di Hokkaido terus meneleponku tanpa henti."
Sayu memoles pertanyaan itu, mengeluarkan 'heheh' sambil tersenyum.
"Jadi aku membuangnya ke laut."
"Oy, jangan buang sampah ke laut!"
Dasar wanita. Meskipun aku tak bisa memaklumi dia melemparkan ponselnya ke laut, sifat tegasnya adalah sesuatu yang lain.
"Jadi, kau tidak membawa ponsel sejak saat itu?"
"Ya."
"Serius?"
“Tidak seperti dugaanku, itu tidak menjadi masalah.”
Ya, aku bisa mengerti alasannya. Kalau dia berencana memutuskan hubungannya dengan semua orang dari masa lalunya, maka ponselnya adalah sesuatu yang tak dia butuhkan.
"Jadi, kenapa kamu bertanya?"
"Kenapa kamu bertanya tentang itu?" kepalanya agak miring.
"Yah, kau tahu, bisa saja ada saat di mana aku tiba-tiba tak akan bisa pulang, jadi akan lebih baik kalau ada cara menghubungi mu sehingga makanan mu tidak sia-sia."
"Begitu, ya …," Sayu mengangguk dengan pengertian tiba-tiba.
Tapi di detik berikutnya, dia tampak agak malu, tatapannya gelisah.
"Ada apa?"
"Yah, uhm."
Sayu menggeliat dan berkata dengan nada berbisik.
"Kamu tahu, hal-hal yang sedang kita bicarakan membuat kita tampak seperti pengantin baru."
"Apa ...?"
“I, Itu cuma lelucon! Jangan membuat wajah seram begitu, ya ampun!”
Saat ekspresiku berubah menjadi cemberut, Sayu dengan putus asa melambaikan tangannya di depannya.
“Maksudku, meskipun aku memasak terlalu banyak, aku mungkin bisa makan sisanya buat sarapan atau semacamnya.”
"Tapi bukannya lebih enak kalau punya ponsel?"
Sayu dengan terguncang menggelengkan kepalanya.
“Aku nggak butuh itu! Aku nggak mau ponsel! Aku benar-benar nggak mau!”
"Eleh~ jangan malu-malu, ah."
"Nggak, aku benar-benar berfikir kalau aku gak butuh. Ditambah lagi, sepertinya aku nggak bisa menandatangani kontrak sendiri.”
Sekarang dia mengatakannya ...
Kalau aku ingat dengan benar, ada aturan di mana siswa SMA tak dapat menandatangani kontrak untuk memiliki ponsel tanpa orang tua mereka, bukan? Yah, bukan berarti aku punya ponsel ketika aku masih SMA, jadi aku nggak benar-benar tahu detailnya.
"Yah, bagaimanapun juga, aku ingin punya cara untuk menghubungimu jika itu yang terjadi."
Jadi aku mengatakannya, tetapi Sayu dengan keras kepala menolak untuk mengalah.
"Gak masalah! Gak masalah!"
Kebiasaannya menahannya muncul lagi.
Sambil melirik Sayu, aku menunjukkan senyum kaku.
Sayu bukan satu-satunya orang yang akan bermasalah tentang ini.
Jujur saja, itu sangat tidak nyaman untuk tidak memiliki cara menghubungi seorang gadis SMA yang tinggal sendirian di rumahku. Paling tidak, aku ingin punya cara untuk menghubunginya.
Ponsel, ya.
Apakah benar-benar nggak ada cara bagi ku untuk mendapatkannya?
Aku beranjak tidur dengan pertanyaan singkat itu di benak ku.
×××
“Eh, bukankah kau bisa kalau hanya mendaftarkan ponsel kedua dengan namamu dan menyerahkannya ke Sayu-chan?”"Benar juga!"
Setelah berkonsultasi dengan Hashimoto sebelum pekerjaan hari ini dimulai dengan sungguh-sungguh, aku segera diberi solusi.
Begitu ya, jadi aku bisa membuat kontrak lain dengan namaku sendiri. Itu bahkan nggak pernah terpikirkan olehku.
"Hm, kurasa aku akan pergi dan membeli ponsel di hari libur berikutnya." Aku bergumam ketika menyalakan komputer kerjaku.
Yah, aku bisa meluangkan waktu untuk memikirkan tentang ponsel nanti.
Pertama, aku harus melewati acara malam ini.
Mengintip ke meja Gotou-san, orang yang masih belum datang ketempat kerja hari ini, aku bisa merasakan keringat muncul di punggungku.
Catatan Penerjemah:
[1] MSDM adalah singkatan dari Manajemen Sumber Daya Manusia. Menurut wikipedia yang admin baca, MSDM adalah suatu ilmu atau cara bagaimana mengatur hubungan dan peranan sumber daya yang dimiliki oleh individu secara efisien dan efektif serta dapat digunakan secara maksimal sehingga tercapai tujuan bersama perusahaan, karyawan dan masyarakat menjadi maksimal.
Comment Now
0 Comments
Please wait....
Disqus comment box is being loaded