Hige Wo Soru. Soshite Joshikousei Wo Hirou. Volume 1, Chapter 3

Font Size :
Dark Mode
Reset Mode
Penerjemah & Editor: yNats

Bab 3: Rokok

“Lho? Itu buruk banget, kan?” Hashimoto bertanya padaku.

Betul. Itu adalah reaksi yang normal.

“Aku gak bisa bilang kalau aku berharap sebaliknya.”

“Ya, itu buruk banget.” Hashimoto mengulangi.
Hashimoto memanggilku saat jam istriahat sore setelah alu beli minuman. Dengan mengikuti arus, aku berbicara dengannya tentang apa yang terjadi pada Sayu.

Aku tak berfikir bisa membantu, tapi aku merasa kalau ini adalah masalah yang sangat besar untuk ku pendam sendirian.

Terlepas dari sikapnya, Hashimoto cukup tertutup. Jadi, aku pikir, dia tidak akan membocorkan hal ini kepada orang lain.

“Dia tertulis di daftar orang hilang, gak?”

Aku menggelengkan kepala sebagai jawaban.

“Aku juga penasaran. Jadi, waktu dia tidur aku diam-diam mencoba mencari namanya.”

“Terus gimana?”

“Nggak ada apa pun dengannya.”

“Aku pikir begitu ...”

Hashimoto meletakkan tangannya di dagu dan memutar kepalanya.

“Jadi singkatnya, dia itu gadis SMA yang keberadaanya sama sekali nggak diketahui ...”

“Setelah membocorkan hal ini, aku pikir aku sudah membuat diriku dalam situasi yang sangat buruk, kan?”

“Kamu nggak perlu berfikir buat tau kalau ini sangat buruk.”

“Oh? Apa yang sangat buruk?”

Aku melompat lepas dari kursiku karena terkejut.

Selagi kami berdua berfikir tentang masalah yang sedang terjadi, sebuah suara tiba-tiba menganggu kami dari belakang. Berbalik, aku melihat Gotou-san, yang tersenyum gembira.

"Aah, Gotou-san ..."

Dia baru menolak ku beberapa hari yang lalu. Walaupun begiru, senyumanya ketika dia melihatku nggak berbeda dari sebelumnya.

“Ini nggak penting, beneran.”

Karena aku tak dapat menemukan kata-kata untuk membalasnya, Hashimoto mulai berbicara untuk membantuku.

“Aku beli sesuatu yang mahal secara online, tapi aku membuat kesalahan dan malah pesan dua. Aku pernah dengar pesanan itu bisa dibatalkan, tapi aku gak tau caranya, jadi ini agak mengganggu.”

Dia dengan santai dan tenang mengatakan kebohongan.

Hashimoto benar-benar orang yang cerdas dan cakap.

“Itu cukup memprihatinkan. Kalian berdua terlihat agak khawatir jadi aku bertanya-tanya apa yang terjadi. ”

Dengan tertawa kecil, Gotou-san dengan santai melambaikan tangan pada kami berdua.

“Kalian berdua, jangan lupa makan siang, lho. Kalau kalian nggak cepat-cepat pergi, jam istirahat sore akan berakhir sebelum kalian bisa kembali.”

"Cus dah, kita bakalan cepet-cepet keluar."

Hashimoto balas melambai sambil tersenyum.

Sedangkan aku, aku hanya melihat Gotou-san dengan senyum terpaksa.

“... Aku benar-benar nggak mengarapkanmu buat bicara.”

“Maksudmu apa, sih! Apa yang harus aku katakan pada orang yang baru saja menolaku, huh?!”

“Setidaknya, kamu bisa mencoba buat menyapanya dengan benar, kan.”

Hashimoto menghela nafas dan bangkit dari tempat duduknya.

“Cus, pergi ah.”

“Iya…”

Mengikuti Hashimoto, aku bangkit dari tempat dudukku.

Ah, bagaimana Gotou-san bisa menyapaku dengan santai gitu?

Meskipun aku baru saja ditolak, aku tidak bisa membantu tetapi mengaguminya.

Kombinasi rok dan jas hitam sangat cocok untuknya dan kemeja biru bergaris-garis vertikal tidak hanya bergaya, tapi juga bernuansa genit. Rambutnya yang sedikit bergelombang dan tampilam lip gloss yang ringan memberinya daya tarik yang agak canggih.

Benar-benar deh! Sejujurmya, aku berfikir gak akan mudah melupakanya.

Lebih dari itu—

"Dadanya montok banget, buset..."

“Yoshida, kau sedang berpikir keras, ya.”

×××

Aku akhirnya bekerja lembur selama dua jam.

Saat aku tiba di stasiun yang hampir dekat dengan rumahku, waktu sudah menunjukan jam 9 malam.

“Dia udah makan belum, ya?”

Sayu, yang sekarang sedang ada di rumah, muncul di pikiranku.

Dia nggak punya uang, jadi aku kasih 1.000 yen, itu harusnya cukup buat makan siang. Sekarang, dia mungkin lagi kelaparan karena belum makan malam.

Dalam perjalananpulang, aku mampir ke toserba dan membeli dua porsi makanan yang cukup.

Saat aku cepat-cepat menuju ke rumah, aku teringat nasihat yang diberikan Hashimoto kepadaku siang tadi.

“Jangan terlalu memanjakannya, oke? Sebelum sesuatu yang buruk terjadi, mendingan kau mengembalikannya ke walinya.”

Aku mengerti sih maksdunya, tapi—

“Nggak apa-apa, kok. Mereka justru mungkin senang aku pergi.”

Ekspresi menyerah dengan segala hal yang Sayu katakan ketika dia mengatakan itu melintas di pikiranku.

“Kau masih bocah SMA, lho. Jangan membuat wajah kayak gitu.”

Sambil menggumamkan hal itu, aku bergegas pulang.

Aku membuka kunci dan membuka pintu.

Ada aroma yang lezat tersebar di udara.

Di dapur, sebuah ruang kecil di koridor menuju ruang tamu, Sayu dengan cepat berbalik dan mendorong sendok di tangannya ke arahku. [1]

“Ah.”

Setelah sadar kalau itu hanya aku, dia membuka mulutnya dan berkata:

“Selamat datang, papah?”

“Jangan ngomong kayak gitu, jijik tau.”

Sejujurnya, aku sedikit lega.

Aku agak khawatir kalau kemungkinan dia udah pingsan karena kelaparan, tapi terlihat dia cukup energik buat ngasih beberapa lelucon.

“Apa kau emang kebiasaan pulang larut kayak gini?”

“Nggak, kok. Hari ini agak lembur.”

“Jadi, apa kau sesekali suka lembur?”

“Nggak, tapi setiap hari.”

“Jadi, kau emang suka pulang larut gini?”

Aku melepas sepatuku selagi aku berbicara dengan Sayu. Lalu aku pergi ke koridor dan mengintip ke dalam panci, aku melihat ada sup miso di dalamnya. Panci itu menguap dan mengepul. Dari kelihatanya, itu kayaknya baru dipasak.

“Sup miso lagi,nih?”

“Apa maksudmu? Kau suka banget, kan?”

“Emangnya aku pernah bilang kayak gitu?”

Saat aku memiringkan kepalaku dengan kebingungan, Sayu terkekeh beberapa kali dan menjawab.

“Tepat sebelum kau ngangguk kemarin, kau bilang ‘Aku mau minum sup miso ...’ ingat gak? Aku pikir, kau pasti sangat menyukainya.”

“Masa sih aku ngomong kayak gitu?”

Aku nggak ingat, deh.

“Maaf, aku nggak bikin yang lain.”

“Aku barusan beli beberapa makanan, kok. Kau mau memakannya, kan?”

Saat aku membuka kantong plastik di tanganku, Sayu tersenyum gambira dan mengangguk dengan gembira.

Pindah ke ruang tamu, aku menyadari kalau dia menjemur cucian untuk mengeringkannya di samping. Kerutan dan lipatan di kameja santai ku juga udah nggak ada dan terlihat sangat rapi. Dia menyetrika semua cucian? Padahal, aku gak pernah menyuruhnya.

Melirik ke tempat tidur, aku melihat kalau debu dan rambut di atasnya sekarang udah hilang. Aku menoleh untuk melihat di mana penghisap debu di taruh. Itu berbeda dari tempat biasa aku menaruhnya.

Dia bahkan melakukannya sampai lantainya benar-benar bersih.

Aku melirik Sayu dan melihat dia mengisi mangkuk dengan sup miso sambil bersenandung dengan riang.

Aku emang nyuruh dia buat ngerjain pekerjaan rumah tangga, sih. Tapi, aku nggak pernah mengira kalau dia bakal ngerjain sampai menyeluruh kayak gini. Dia mungkin ternyata cekatan. Belum lagi, kayaknya berarti dia setidaknya merasa bertanggung jawab.

Aku melepas pakaianku dan dengan cepat beralih ke pakaian dalamku.

Kemudian, aku merongoh saku ku dan mengambil paket ‘Red Malls’, kesukaanku, dan korek api Zippo ku.

"Hm?"

Saat itu aku menyadari kalau asbak yang ada di atas meja ruang tamu telah menghilang.

“Sayu?”

“Ada apa?”

“Apa kau melihat asbak?”

Setelah beberapa saat yang singkat, Sayu bertepuk tangan dengan “Ah!” dan mengambil asbak yang sekarang jadi berkilau dari lemari.

“Maaf, aku pikir aku harus ngebersihin ini bersamaan sama piring dan peralatan.”

“Aku mengerti, makasih.”

“Ah, mm.”

Mengambil asbak dari tangannya, aku menuju ke teras rumah.

“Hm?”

Berbalik, aku melihat Sayu menatapku dengan mulut lebar karena terkejut.

“Kenapa?”

“Aku cuma mau bilang, gak apa-apa kok kalau mau merokok di dalam rumah ... ?”

Aku meringis.

"Kenapa kamu bilang kayak gitu?"

“Soalnya, bukannya kau biasanya merokok di dalam rumah?”

“Betul.”

“Terus, kenapa kau pergi ke teras rumah?”

Aku gak ngerti apa maksudnya.

“Kau ada di sini, kan?”

Mata Sayu tampak melebar karena terkejut.

Apanya yang mengejutkan?

Aku bisa merokok di manapun aku mau waktu aku masih sendirian, tapi aku tak bisa merokok dengan santai ketika orang lain ada di sekitar. Nah, bukanya ini pemikiran dengan akal sehat?

“Kenapa ekspresimu kayak gitu?”

“Nggak kenapa-napa, kok.”

Sayu mengarahkan tatapannya ke bawah seakan memikirkan sesuatu.

Setelah beberapa saat, dia mengangkat matanya untuk memenuhi pandanganku dan melemparkan senyum cerah.

“Aku cuma berfikir, kalau kau baik banget.”

“Huh?”

Tanda tanya yang kesal, secara refleks terbang dari mulutku, yang dengan cepat aku tangani.

Hanya kebiasaan burukku. Aku bukan orang yang mengintimidasi anak-anak.

“Memangnya apa yang baik tentang itu, sih?”

"Itu, uhm, ahaha."

Sayu tersenyum seakan ingin menutupi keparahan dari apa yang akan datang. Dia mengelompokkan tangannya di belakangnya dan gelisah dengan jari-jarinya.

“Kau tahu, orang-orang yang pernah tinggal bersamaku sampai sekarang ... tak terlalu peduli kalau aku ada di sana karena aku bukan siapa-siapa ...”

Mendengar itu, perasaan yang tidak bisa kugambarkan sebagai kemarahan atau kesedihan berputar dalam dadaku sekali lagi. Dalam hal ini juga, rasa kebajikannya telah dipelintir oleh banyak hal kecuali orang dewasa yang malang.

“Orang-orang yang melakukan hubungan seksual dengan JK dan merokok di depan anak di bawah umur itu adalah hal yang lain.”

Aku meludah, dituduh marah karena aku tidak bisa menemukan jalan keluarnya.

Aku menunjuk ke arah Sayu dengan tangan memegang kotak rokok.

“Dengar ya, aku tidak baik sama sekali, mereka saja yang menyebalkan. Jadi, jangan salah faham.”

“Eh ...”

“Tidak memiliki standar yang rendah. Lihatlah hal-hal dari sudut yang tepat. ”

“... Mm, oke.”

Setelah mendengar jawabannya, aku berjalan ke teras rumah dan menutup jendela di belakang ku.

Melirik kembali ke kamar, aku melihat Sayu menggaruk bagian belakang kepalanya sambil membentuk senyum canggung.

Aku mengambil sebatang rokok dari kotak dan menyentuhkan tutup peti yang terbuka dengan ibu jari ku. Setelah menyalakan rokok, aku menutup tutup pemantiknya. Denting tutupnya adalah suara yang sering aku dengar di malam hari.

Aku menghisap asap rokok dari rokok dan kemudian menghembuskannya.

".... Fwaahh."

Pada saat yang sama, aku melepaskan napas panjang.

Aku mulai merasa tua.

Bagaimanapun, aku melihat diriku menjadi wali ketika aku melihat seorang gadis SMA. Aku tidak mengerti orang-orang yang memiliki nafsu untuk gadis-gadis seperti itu.

Senyum Sayu yang tak terlukiskan muncul dalam pikiran.

Sejujurnya, aku pikir dia imut. Aku yakin senyum yang jujur ​​lebih baik untuknya.

Untuk berpikir bahwa orang-orang di luar sana telah mendorong rasa nilai dan kebajikan gadis ini sejauh ini.

Tentu saja, orang yang bersangkutan juga memiliki disposisi yang agak manja, tapi—, tidak, itu mungkin alasan terbesar. Namun, ini adalah bukti bahwa orang dewasa, lingkungan yang secara salah membimbing seseorang pasti ada. Mengetahui hal itu membuatku sedikit khawatir.

"Sungguh, dasar orang-orang sialan."

Aku bergumam, dan menghirup asap rokok yang lain.

Meskipun aku mengatakan itu—

Aku juga hanya orang sialan. Salah satu yang mengampuni keluguan seorang gadis SMA dan memberinya tempat melarikan diri.

Setiap orang yang terkutuk di antara mereka, termasuk aku, hanya hidup dengan apapun yang kita inginkan.

Ketika aku perlahan-lahan menghabiskan rokok di tangan ku, aku mulai berpikir tentang arti di balik tindakan ku.


[1] Secara umum, apartemen Jepang terstruktur sedemikian rupa sehingga koridor dari pintu mengarah ke ruang tamu, yang terhubung ke satu kamar tidur di apartemen yang lebih besar, atau ganda sebagai kamar tidur di kamar yang lebih kecil. Kamar mandi dan dapur terletak di koridor ini juga.
Share Tweet Share

Comment Now

2 Comments

      Please wait....
      Disqus comment box is being loaded